Rabu, 30 Mei 2012

SEJARAH MUSIC REGGAE DI INDONESIA

Reggae, seperti dikatakan etnomusikolog Jacob Edgar, merupakan jenis musik yang mudah beradaptasi dengan beragam lingkungan kultural.

Musik Reggae sebetulnya sudah lama digaungkan di Indonesia sekitar awal tahun 1980, dengan munculnya band Reggae Abreso dalam acara Reggae Night di Taman Impian Jaya Ancol.

Pada tahun 1986 band yang seluruhnya personil pemuda asal Papua ini pernah performing di Christmas Island selama tiga bulan yang diprakarsai oleh Yorries Raweyai. Pada tahun 1984 Abreso pernah rekaman lagu-lagu Reggae.

Selain itu, masih di era tahun 1980-an ada lagu “Dansa Reggae” yang dinyanyikan oleh Nola Tilaar iringan musik oleh Willie Teuguh.

Lagu ciptaan Melky Goeslaw itu adalah salah satu lagu Reggae yang mengajak masyarakat dari berbagai latar belakang kultural bisa ramai-ramai menikmati reggae. Dengar liriknya: “Orang Jawa bilang, ’monggo dansa reggae’!”

Senin, 23 April 2012

Cerita Reggae


WAWANCARA
Anak kampung yang berontak dari pabrik kaleng.
Memilih hidup dan bermusik di jalanan. Walau digasak dan dicemooh orang, tetap memilih reggae sebagai jalan hidupnya. Lagu-lagunya direkam
Putumayo label tersohor dunia untuk world music. Sohor di ajang festival di Amerika tetapi selalu ditolak Kedutaan Amerika di Jakarta ketika mengurus visa.
Inilah reggaeman kita yang selalu bersahaja

SELALU ada berita baru tentang reggae dari Tony Q Rastafara. Selalu ada album atau master musik reggae di dalam tas kecilnya yang akan diperlihatkan kepada orang yang tertarik mencari tahu apa yang kini dikerjakannya. Atau sebuah buku, Bob Marley: Rasta, Reggae, Revolusi yang agak lusuh karena sering dibaca dari tangan ke tangan, dibahasnya bersama beberapa kawan di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan kebetulan dia memberi komentar singkat di sampul belakang. Tony Q, memang reggaeman yang bersemangat!
Kadang dia menghilang dari Jakarta beberapa bulan untuk melakukan konser di beberapa kota di Jawa dan Bali. Biasanya digelar di kampus-kampus, atau bar dan cafe. Kadang langkahnya panjang hingga mancanegara, “Aku mau berangkat ke Aus, nih!” katanya lewat telepon seluler, suatu kali. Maksudnya pergi ke Australia untuk melakukan mixing di Sound Warp untuk album barunya, Anak Kampung, yang akan dirilis dalam waktu dekat ini.
Album Anak Kampung, melibatkan Fully Fullwood, pionir reggae, seorang bassist yang cukup penting perannya dalam perkembangan musik reggae di Jamaika pada dekade 70an.
Selama tigapuluh tahun karir musiknya, Fullwood pernah bekerjasama dengan Bob Marley, Peter Tosh, Black Uhuru, Gregory Isaacs hingga The Mighty Diamondas. Setahun yang lalu, Fully Fullwood dan kawan-kawannya di band Tosh Meets Marley sempat melakukan tur konser di Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan Bali. Di belakang panggung konser, Tony Q diperkenalkan kepada Fully Fullwood dan kawan-kawan, serta manajer Mark Miller.
Tiba-tiba saja scene reggae di tanah-air heboh melihat kedekatan Tony Q dengan Fully Fullwood yang kemudian berujung bekerjasama membuat sebuah album.
Sekembali Tony Q dari Australia, BATAVIASE NOUVELLES menemuinya di Wapres pada suatu petang. Sambil menyeruput kopi pahit dan menghisap rokok kretek dengan diselingi senda gurau, lagi-lagi Tony Q bersemangat menjawab BATAVIASE.
Bagaimana Anda bisa dekat dengan Fully Fullwood lalu bekerjasama membuat sebuah album. Apa ini sebuah kebetulan?
Ya, awalnya memang panitia konser memperkenalkan gue dengan Fully Fullwood. Bagi gue ini seperti mimpi besar. Bisa bernyanyi satu panggung dengan musisi reggae legendaris. Bayangkan, dia bilang,’Reggae lahir di dekat rumah saya.’
Lalu dia cerita tentang Bob Marley yang dulunya masih anak bawang… Wah, orang ini nggak sembarangan. Beberapa lagu Bob Marley kan dia ikut menulis, seperti Mr. Brown, Sun is Shining… Wah, luarbiasa!
Lalu panitia menyiapkan keberangkatan gue ke Bali untuk jam-session dengan band Tosh Meets Marley. Nah, ketika di Bali, ini seperti sebuah kebetulan… Setelah konser selesai, manajer band Mark Miller dan Fully serta para musisi ingin jalan-jalan melihat panorama Bali. Ketika itu panitia kabur entah ke mana, sehingga gue dan seorang sopir menemani mereka pergi ke Tanah Lot.
Bayangkan, dalam mobil cuma gue dan sopir doang orang Indonesia yang mengantar musisi reggae dunia, ada yang datang dari California, Swiss, Kanada. Jadi, walau pun satu band tapi mereka tinggal di negara yang berbeda. Selama perjalanan kita semakin akrab, karena gue membantu motret dan ngejelasin tentang pura Tanah Lot. Mereka sangat senang sekali, happy!
Selama bersama mereka, gue nulis lagu Woman yang kata Fully, ’Stag in my head’ dan Mark Miller dapat ide bikin lagu juga, judulnya In The Ghetto, idenya dia dapat ketika melihat orang-orang Jakarta yang bekerja di pagi buta untuk memberi makan keluarga.
Proses rekaman Woman juga terbilang cepat. Kita janjian ketemu di Studio Intro, Kemang, untuk rekaman. Beberapa jam sebelum mereka datang dari Bali, gue udah di studio, karena gue pengen tepat waktu, nggak mau telat. Di studio gue coba-coba bikin bahan dasar musik untuk Woman dengan gitar. Kemudian Fully datang langsung merespon dengan bass, begitu juga dengan yang lain, memainkan keyboard dan perkusi. Fully saja membuat lima versi bas untuk Woman. Semuanya bagus!
Tapi gue harus memilih satu di antaranya.
Anda tadi bilang “Mimpi besar” bernyanyi satu panggung dan bekerjasama dengan Fully Fullwood. Sebenarnya apa sih cita-cita Anda?
Cita-citaku, tampil dalam festival reggae di Jamaika, memperkenalkan reggae Indonesia kepada publik yang lebih luas lagi.
Bagaimana undangan festival reggae internasional selama ini?
Gue nggak bisa datang ke sana… Karena tidak mendapatkan visa dari kedutaan Amerika. Undangan gue terima tidak lama setelah peristiwa tragedi World Trade Center, sebelas september 2001.
Awalnya panitia Bob Marley Festival di Houston, Texas mengundangku untuk tampil sebagai headliners. Tapi gue nggak mau tampil sendiri karena semua lagu gue kan nggak bisa dimainkan sendiri. Di samping itu, gue punya misi untuk memperkenalkan musik reggae Indonesia untuk publik di sana.
Reggae Indonesia kan ada kendang jaipongnya, talempong minang, suling sunda.. ya kayak gitu! Gue ajukan ke panitia bahwa gue baru mau tampil dengan syarat bisa membawa band gue.
Panitia merespon, ‘Tony kamu bisa mencari player yang kamu butuhkan di Amerika, dari kendang sunda, dll…’. Tapi gue tetap bersikeras, gue baru mau tampil dengan musisi Indonesia. Jumlahnya semua 10 pemain. Lama-lama panitia di sana mengerti dengan kebutuhan gue. Kawan-kawan sudah menyiapkan keberangkatan gue untuk festival itu, mereka mau jadi volunteer, dari membuat ‘malam dana’. Gue sangat terharu!
Tapi ketika mengajukan visa untuk sepuluh musisi di Kedutaan Amerika, kita ditolak. Mungkin pemerintah Amrik masih paranoid, setelah tragedi WTC. Kawan-kawan shock, kok sebagai musisi masih juga dicurigai yang kagak-kagak. Lewat e-mail, gue sebar kabar bahwa Kedutaan Amerika tidak memberikan visa kepada musisi Indonesia. Panitia Bob Marley Festival di Houston cukup kaget juga. Seorang akademisi- musikolog dari West Virginia, Prof. Ann membuat petisi yang didukung para musisi dan akademisi Amerika, yang isinya protes keras terhadap pemerintah Amerika agar memberi kesempatan kepada musisi Indonesia untuk tampil pada sebuah festival musik. Petisi itu dikirim ke Gedung Putih, kantornya Presiden Bush.
Selanjutnya, masih ada undangan festival reggae yang datang?
Dari tahun 2003 sampai 2005, gue terus diundang untuk even Legend of Rasta reggae Festival di Houston, Texas. Tapi kan masalahnya, lagi-lagi Kedutaan Amerika di Jakarta tidak memberi visa. Padahal gue banyak mendapat dukungan, baik moril maupun materiil. Promotor Adri Subono dari Java Musikindo, secara pribadi mau ngasih uang puluhan juta kalau gue jadi berangkat. Tapi kenyataannya semua mentok karena nggak dikasih visa. Gue udah usaha, bekerja… Ya, gue sumeleh saja!
Sejak tahun 2004, setiap ada undangan festival reggae internasional, gue mulai cuekin. Tapi orang Amerika memberi dukungan. Mareka tahu lagu gue kan diputar di festival, tapi bertanya-tanya kok orangnya nggak pernah nongol.
Ada orang Amerika yang bekerja sebagai instruktur pada sebuah perusahaan minyak di Houston selalu berhubungan dengan kita lewat e-mail. Beberapa bulan menjelang festival reggae diselenggarakan, dia selalu siap membantu, dari membelikan tiket dan akomodasi. Suatu kali dia menitipkan uang lewat muridnya dari Indonesia, dia orang Batak, yang kebingungan kok ada instruktur perminyakan Amrik punya sahabat musisi reggae dari Indonesia, he..he…he! Lucu juga tuh!
Dari kejadian itu, lama-lama gue baru mengerti, ternyata orang Amerika itu sangat apresiatif dengan musik reggae Indonesia. Prof. Ann, misalnya, selalu memberi gue dorongan terus berkarya. Ketika dia dengar musik gue yang ada elemen musik Sunda, Jawa atau daerah lainnya di Indonesia, dia bilang, itu musikmu enggak ada di Amerika atau Afrika.
Budaya kita kan unik, sejarahnya panjang. Dia akhirnya mengirimkan lagu-laguku kepada Putu Mayo World Record, perusahaan yang berbasis di New York. Satu lagu gue, Pat Gulipat, masuk dalam kompilasi World Reggae berjudul Reggae Playground bersama musisi reggae dunia.
Gue langsung terharu sekaligus bangga, akhirnya musik reggae Indonesia diakui secara internasional.
Tony Q tak pernah menduga lagunya masuk dalam kompilasi Reggae Playground, bersanding dengan Rita Marley, istri Bob Marley dan Judy Mowatt, penyanyi latar The Wailers band Bob Marley, selain itu beberapa musisi yang mengisi album itu antara lain Johny Dread (Kuba), Eric Bibb (Amerika), Alan Schneider (Prancis), Modusta Largo (Maroko), The Burning Soul (Jamaika), Marty Dread (Amerika), Kal Dos Santos (Brasil), Asheba (Trinidad) dan Toot and The Maytals, band lawas dari Jamaika yang melahirkan kosakata “Reggae” ke dunia ini. Seluruh penjualan album ini diperuntukkan pembangunan sekolah taman kanak-kanak di Jamaika. Sebuah program yang bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa dan Rita Marley Foundation.
Bagaimana Anda melihat perkembangan musik reggae di Indonesia, yang sekarang lagi booming?
Gue selalu mendukung kawan-kawan yang bikin band reggae. Dan selama ini juga gue didukung kawan-kawan. Untuk desain sampul album Anak Kampung, yang bikin Ibnu Hibban, yang sudah menonton band gue sejak dia masih SMP. Sekarang dia sudah sarjana, lulusan jurusan seni rupa Institut Kesenian Jakarta. Cover Anak Kampung adalah skripsi Ibnu, dapat nilai A. Gue kan selalu mendukung sesuatu yang positif, kuncinya asal dikerjakan dengan senang hati semua akan berkembang. Setiap gue ngeband selalu ngajak band-band yang baru untuk jam-sesion. Di musik reggae itu nggak ada jarak, tua-muda saling mendukung. Gue nggak pernah menduga perkembangan reggae di masyarakat seperti sekarang ini, walau media masih memperlakukan seperti anak-tiri, kalau mau dibandingkan dengan musik rock atau pop. Sebagai pelaku reggae, gue akan terus bekerja, berkarya, bikin album…
Ada yang bilang Anda terlalu idealis?
Tolok ukur orang itu apa? Gue sih sederhana saja dalam bermusik. Pertama, harus dilakukan dengan senang hati. Penghasilan gue selama ini dari musik. Gak ada sampingan lain. Kalau gue dulu ngamen di jalanan karena gue melakukan itu dengan senang hati. Kalau gue nyanyi di kafe atau konser di daerah, itu semua gue lakukan dengan senang hati. Banyak juga kan yang mengukur apa yang kita kerjakan dengan berapa uang yang kita dapat… Wah,
itu sih bikin gue tertekan! Gue bikin band, jungkir-balik, terus bubar, karena kawan-kawan dulu nggak punya keyakinan musik reggae bisa diterima pasar. Ukurannya uang! Kalau berkesenian diukur dengan uang dan sukses melulu… yah, kita hidup dalam tekanan. Akhirnya bubar.
Gue sudah puluhan tahun bermusik reggae. Ketika almarhum Imanez masih memainkan karya-karya The Beatles, gue sudah ngereggae. Ketika album reggae dia sukses, gue merasa terpacu untuk berkarya. Iman beruntung karena Potlot mengelola bakat dia. Gue kan berproses dari bawah, dari hidup di jalanan, semua bertahap. Suatu kali gue pernah nyodorin karya gue ke sebuah perusahaan rekaman di Glodok. Tapi syaratnya, album gue akan dirilis tanpa menyertakan vocal gue.
Nama gue tetap dipakai tetapi yang nyanyi orang lain…
Edan! Gue langsung tolak. Begitu gue cerita ke kawankawan, justru gue digasak, dicemooh; ‘kok nggak lu ambil aja itu duit. Kan enak nggak usah capek-capek!’ Gue nggak sependapat! Ini karya gue, dan gue punya kemampuan untuk menyanyikannya. Itu kan suatu keyakinan.
Sekarang terbukti, kawan-kawan yang dulu mencemooh, kebanyakan sudah meninggalkan musik, cari kerja yang tidak ada hubungannya dengan musik. Kalau tetap bermusik, paling hanya memainkan lagu-lagu top-40, tidak berkembang dan penuh dengan tekanan, karena banyak diatur-atur orang dan secara materi gak cukup.
Bermusik itu ekspresi kebebasan. Ya, kita harus merawat kebebasan itu, dengan berkarya, mencari ilmu dan bergaul, mengalir saja… Selama kita memberi dukungan kepada potensi seseorang, pasti ada jalan terbuka untuk kita juga. Ada yang bilang,’wah Tony nyebar virus reggae..’
Padahal kan gue bergaul dengan musisi apa saja, rock, metal, punk… Gue suka pergaulan dan saling memberi apa yang kita tahu. Dulu gue sempat jadi instruktur musik di Wisma Relasi (markas band Steven n’ Coconut Treez).
Dari dalam studio, gue perhatiin ada Steven yang sedang melongok lama dari balik kaca. Dia kan dulu main musik hardcore. Rambutnya panjang belum gimbal.
Keesokan harinya, kita ketemu. Dia minta dibikinin rambutnya dreadlock. Gue bikinin tiga biji. Besoknya dia datang lagi, semua rambutnya sudah digimbal tetapi numpuk jadi satu biji gede banget. Gue rapiin, gue gunting terus dijalin satu-satu, akhirnya jadi kayak sekarang ini. Dia itu sudah ada talent reggaenya. Kalau dengar band hardcorenya, dalam albumnya ada satu lagu reggae. Jadi gue nggak pernah ngasih virus, atau mempengaruhi dia supaya bermusik reggae. Ketika mengerjakan album pertama Coconut Treez, The Other Side, gue dengan teman-teman Rastafara ikut membantu. Bahkan, ketika ada yang datang ke gue, namanya Rival, ingin bermain musik reggae, gue perkenalkan pada Steven. Sampai sekarang dia jadi bassis Coconut Treez. Dalam hati, gue senang sekali melihat mereka sekarang berkembang.
BOLEH dibilang Tony Q Rastafara klotokan dalam bermusik reggae. Hingga kini Tony Q telah melahirkan enam album, yaitu Rambut Gimbal (1996), Gue Falling in Love (1997), Damai dengan Cinta (2000), Kronologi (2003), Salam Damai (2005), dan sebuah album yang dirilis 27 April 2007 bertepatan dengan hari ulang tahunnya, Anak Kampung.
Lirik lagu Anak Kampung adalah sepenggal biografi Tony Q ketika merantau di Jakarta. Pria asal Semarang yang terlahir dengan nama Tony Waluyo Sukmoasih pertama kali hidup di Jakarta bekerja pada PT Singapur-Cakung, sebagai buruh bagian quality control, sebuah pabrik kaleng. Merasa tertekan melihat mesin absensi, ia pindah kerja pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang desain periklanan di Sunter. Suatu kali, ia meminta ijin pada sang bos untuk diperkenankan kuliah seni rupa di Institut Kesenian Jakarta. Tapi si bos tak memberi ijin, justru memberinya setumpuk pekerjaan di percetakan. “Saya marah. Sesuai kontrak kerja kan saya sebagai desainer, hanya menggambar, kok diberi tugas di percetakan. Saya keluar!” sergahnya.
Akhirnya, ia berlabuh di Pasar Kaget Blok-M, hidup secara bohemian dengan mengamen. Ia merasa senang, bebas dan nyaman. “Orangtua saya begitu prihatin mendengar cerita orang-orang bahwa saya ngamen… Padahal saya bahagia dengan cara hidup seperti itu. Banyak teman, makan-tidur-ngamen… hari-hari yang bebas. Ngitung duit jam empat pagi di Hoya. Dapat uang beli senar gitar atau beli buku dan alat-alat lukis,” tutur Tony Q. yang pada masa itu banyak belajar dari musisi jalanan, Anto Baret dan lingkar pergaulan seniman Bulungan. Baginya, rasa was-was orangtua adalah wajar, justru mendorongnya untuk lebih berprestasi.

Senin, 26 Maret 2012

Sejarah Musik Reggae

Three_no Saputra
Bonny Dwifriansyah
Said he was a buffalo soldier win the war for America
Buffalo soldier, dreadlock rasta
Fighting on arrival, fighting for survival
Driven from the mainland to the heart of the caribbean...

Anda pasti kenal lirik lagu di atas. Lagu berjudul "Buffalo Soldier" ini memang sudah sangat akrab di telinga kita. Lagu dengan beat slow dan membawa kita hanyut dalam goyangan gemulai ini pasti mengingatkan kita terhadap dua hal, reggae dan Bob Marley. 
Ya, Bob Marley memang layak disandingkan dengan reggae. Pria kulit hitam yang mempunyai nama asli Robert Nesta Marley ini adalah pelopor musikreggae dan yang memppopulerkannya ke kancah musik internasional. 

Munculnya Reggae 
Musik reggae memang mempunyai sejarah yang panjang. reggae tidak hanya sebuah jenis musik bertempo lambat dengan vokal berat saja, tapi juga berhubungan erat dengan kepercayaan, identitas, dan simbol perlawanan terhadap penindasan.

Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady ke irama musik baru yang bertempo lebih lambat. Boleh jadi, peralihan itu terjadi lantaran ingar-bingar dan tempo cepat Ska danRocksteady kurang cocok dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.

Kata “reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged” (gerak kagok–seperti entakan badan orang yang menari dengan iringan musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musikR&B yang lahir di New Orleans, soul, rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba), dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento yang kaya dengan irama Afrika.

Musik reggae sendiri pada awalnya lahir dari jalanan Getho (perkampungan kaum Rastafaria) di Kingston, ibu kota Jamaika. Itulah yang menyebabkan gaya rambut gimbal menghiasi para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagureggae sarat dengan muatan ajaran Rastafari, yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan alam, serta gaya hidup bohemian.

Masuknya reggae sebagai salah satu unsur musik dunia yang juga mempengaruhi banyak musisi dunia lainnya, dan membuat aliran musik satu ini menjadi barang konsumsi publik dunia. Gaya rambut gimbal atau dreadlockserta lirik-lirik ‘Rasta’ dalam lagunya pun menjadi konsumsi publik. Dengan kata lain, dreadlock dan ajaran Rasta telah menjadi produksi pop, menjadi budaya pop, seiring berkembangnya musik reggae sebagai sebuah musik pop.


Musik dari Jamaika

Akar musikal reggae terkait erat dengan tanah yang melahirkannya, Jamaika. Saat ditemukan oleh Columbus pada abad ke-15, Jamaika adalah sebuah pulau yang dihuni oleh suku Indian Arawak. Nama Jamaika sendiri berasal dari kosa kata Arawak “xaymaca” yang berarti “pulau hutan dan air”. Kolonialisme Spanyol dan Inggris pada abad ke-16 memusnahkan suku Arawak, yang kemudian digantikan oleh ribuan budak belian berkulit hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut dipekerjakan pada industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana. Pada tahun 1838, praktek perbudakan itu dihapus dan diikuti dengan melesunya perdagangan gula dunia.

Di tengah kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara keterikatan pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi. Mereka mengisahkan kehidupan di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian sederhana. Interaksi dengan kaum majikan yang berasal dari Eropa pun membekaskan produk silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi folk asli Jamaika. Bila komunitas kulit hitam di Amerika atau Eropa dengan cepat luntur identitas Afrika mereka, sebaliknya komunitas kulit hitam Jamaika masih merasakan kedekatan dengan tanah leluhur.

Musik Afrika pada dasarnya ada di kehidupan sehari-hari masyarakat Jamaika, baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja atau rumah yang menjadi penyemangat saat kondisi sulit sehingga memberikan kekuatan dan pesan tersendiri. Hasilnya, reggae musik bukan cuma memberikan relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai, kesatuan dan keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.


Bob Marley, Nabi Para Rasta

Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika, Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati entakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.

Bersama Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude boy”, anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston.

The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat Bob Marley patah arang sehingga memutuskan untuk berkelana ke Amerika. Pada bulan April 1966, Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I(Raja Ethiopia) ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Karisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.

The Wailers bubar di tahun 1971, dan Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggaesebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai icon-nya.

Pada tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.

Dreadlock

Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap para pemusik reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.

Pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA. Aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” dan menyatakan memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread inilah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an,dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).

Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan di antara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Pada pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di Kota Trench Town dan Greenwich, tempat di mana musik reggae lahir pada tahun 1968.

Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi icon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah tren baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia.

Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlocktetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.


Reggae di Indonesia

Di Indonesia, beberapa nama yang terkenal dalam dunia musik reggae antara lain Tony Q, Steven & Coconut Treez, Joni Agung (Bali), New Rastafara, dan Heru ’Shaggy Dog’ (Yogyakarta). Banyak yang tidak tahu sejarahreggae di negeri ini. Bahkan musisi reggae di sini mungkin yang kurang paham jika ditanya siapa band awal mula yang pertama kali memainkan musik reggae.

Sekitar tahun 1986, musik reggae mulai dikumandangkan di Indonesia. Band itu adalah Black Company, sebuah band dengan genre reggae. Kemudian beberapa tahun kemudian muncul Asian Roots yang merupakan turunan dari band sebelumnya. Lantas ada pula Asian Force, Abresso dan Jamming.

Kini keberadaan musik reggae di Indonesia terkesan tersingkirkan. Apalagi kesan yang diperoleh ketika seseorang melihat penampilan para musisi reggaeyang terkesan urakan dan tak mau tahu dengan kondisi orang lain. Bahkan, ada idiom yang hingga kini membuatnya semakin tersingkir adalah: reggaeidentik dengan narkoba.

Entah idiom itu benar atau tidak. Yang jelas, kesan minor yang diterimanya turut serta menenggelamkan reggae di antara musik-musik baru di dunia.